Senin, 19 September 2016

Mahasystem Chapter 9



Mahasystem
Chapter 9: In The Hunt

Siang ini Raya baru pulang dari tempatnya mengajar anak-anak jalanan. Tak seperti biasanya, kali ini tak ada lagi sepeda yang bisa ia kayuh. Sepedanya telah rusak saat ia mengalami kecelakaan tempo hari. Maka ia hanya bisa mengandalkan kakinya. Namun itu tidak membuatnya bersedih hati. Kini ia bisa lebih menikmati apa yang dia lalui dengan berjalan kaki. Ia membantu seorang nenek menyeberang, membantu mendorong mobil yang sedang mogok, lalu ia melihat seorang anak menangis di tepi jalan dan sang anak menjelaskan bahwa mainannya masuk ke dalam celah besi gorong-gorong. Tanpa ragu Raya pun memasuki gorong-gorong tersebut dan membawakan mainan anak itu sehingga anak itu pun kembali ceria. Raya memang sudah terbiasa melakukan hal-hal kecil semacam itu. Karena baginya melihat kesulitan orang lain juga sama menyulitkannya jika ia diam begitu saja, bahkan seekor kucing pun tidak luput dari perhatiannya. Ia telah menyisakan sepotong ikan sisa bekal makannya tadi pagi untuk ia berikan pada kucing itu. Lalu kemudian ia menaiki bus, tentu saja ia akan memberikan kursinya pada siapa saja yang tidak mendapatkan tempat duduk. Namun ia tak pernah sadar bahwa dua pasang mata tengah mengawasinya dari atap sebuah gedung menggunakan semacam teropong binocular. Mereka terdiri dari seorang pria berperawakan tinggi besar dan seorang gadis berambut merah... yang tak lain adalah John McKinley dan Mary Milosevich.
“Hooo... rupanya ia anak muda yang baik” ujar John.
“Apa istimewanya seorang soulrunner yang baik jika dia begitu lemah?” jawab Mary.
“Menarik, karena biasanya para soulrunner yang kukenal mengalami sedikit gangguan jiwa atau goncangan secara mental yang membuat mereka tampak berbeda dan antisosial, tapi look at him. Dia tampak begitu normal dan baik-baik saja...”
“Soulrunner dengan gangguan secara psikologis? Apa kau membicarakan dirimu sendiri?”
“Shut up Mary. Aku tidak memiliki isu kejiwaan sepertimu. Maksudku, bagaimana denganmu? Apakah konflik di Ukraina bisa dengan mudah kau lupakan?”
“You know me John. Kemampuanku adalah menyembuhkan... i can fix anything...”
“Nope. Bahkan seorang dokter akan membutuhkan dokter yang lain jika dia terluka...”
“Lucu sekali. Jadi apa artinya kita telah membohongi bocah itu?”
“Tentang apa?”
“Tentang Moses... dan semua yang dia ketahui tentangnya... apakah kita tidak akan memberitahukan siapa yang sebenarnya dia kenal...?”
“Saat ini yang terpenting adalah melindungi Raya dan merekrut semua soulrunner yang tersisa, hanya itu satu-satunya cara agar Genesis bisa menjadi lebih kuat. Dengan begitu kita bisa membebaskan Jimmy. Lagipula orang itu sudah berjanji untuk selalu melindunginya...”
“Siapa?”
“Vaust de Kruegger. Dia berkata bahwa mereka memiliki semacam ikatan. Oh ya apa Zhao sudah memberitahumu soal siapa pengguna telepati di negeri ini?”
“Brain? Tidak. Dia hanya berkata bahwa ada beberapa energi soulrunner yang ia rasakan disini, namun mengenai apa saja kemampuan mereka, Brain tidak memberiku jawaban pasti. Hey John. anak itu telah pergi naik bus, apa kita harus mengikutinya?”
“Merunduk!” seru John dan segera Mary pun merunduk mengikutinya, mereka bersembunyi diantara dinding pembatas dan kotak ventilasi di atap gedung tersebut.
“Apa? Ada apa?” Mary bertanya.
“Arah jam satu di atap gedung seberang gedung ini. Jumlah mereka sekitar 6 orang, kemungkinan mereka adalah agen Noise... mereka pasti mengincar Raya dan di arah jam 10 beberapa agen lainnya juga terlihat...”
“Good. Mereka tepat berada dalam jarak jangkauku menembak... aku akan melumpuhkan mereka dengan Dragunov, sebaiknya kau segera mengejar anak itu...” ujar Mary seraya mempersiapkan sebuah sniper rifle dan mulai membidik sasarannya. Namun saat Mary hendak menarik pelatuk senapannya, John menarik lengannya dan memaksanya untuk tetap merunduk.
“Tidak... tunggu dulu, masih belum saatnya...”
“Apa maksudmu belum saatnya? Aku sudah membidik mereka! Mengapa kau kacaukan...”
“Ssst!!” John menaruh telunjuk didepan bibirnya agar Mary terdiam. Dan segera dari arah kanan dan kiri mereka berdua sekelompok orang berpakaian aneh tiba-tiba muncul, ada yang tampak seperti ninja, berpakaian serba hitam dengan hiasan dua bulan sabit emas di dada, ada yang menggunakan kain yang usang sebagai jubah dan ada juga yang memakai bulu binatang, berhiaskan rantai atau tulang belulang sebagai pakaian. Ada yang menggunakan topeng berwajah seram, ada pula diantara mereka yang menggunakan topi caping di kepalanya. Mereka semua menutupi sebagian wajahnya, dan membawa berbagai macam senjata tajam... berlari dan melompati gedung demi gedung hanya dengan beberapa pijakan... Mary dan John hanya bisa merunduk bersembunyi. Setelah pasukan berpakaian aneh itu melintas barulah mereka kembali bangkit... tampak di seberang gedung tersebut kelompok itu mengadakan semacam pertemuan dengan para agen. Mereka berjabat tangan dan kelompok itu pun menerima sebuah tas koper. Tak lama mereka kembali berlari dan melompati gedung-gedung dihadapannya.
“Mereka itu...” Mary memandang heran.
“Yang pasti mereka bukan atlit parkour. Dari ilmu ringan tubuh dan juga pakaiannya, tidak salah lagi, mereka pastilah para assassin dari aliansi pembunuh... ini gawat. Itu artinya, Zion tidak menginginkan kemampuan Raya, Zion menginginkan kematiannya. Itu sebabnya mereka menyewa para pembunuh profesional dari aliansi pembunuh... bocah itu... selama ini ia selalu lolos dari kematian, entah itu terjangan longsor ataupun kecelakaan lalu lintas dan sekarang dia harus menghadapi para assassin? Aku tidak tahu apa kemampuan anak itu, tapi tampaknya kemampuannya cukup ditakuti Zion... ah, apa kekasihmu sudah memberi kabar?”
“Saat ini Jet tengah berusaha membaur dan menyamar menjadi seorang penarik... euh apa sebutannya? Semacam rikshaw di Cina hanya saja ada sepeda dibelakangnya...”
“Disini itu disebut becak. Aku tidak tahu kenapa kau bisa jatuh cinta pada orang itu tapi itu cocok untuknya. Baiklah, saat ini Face juga telah bersiap di posisinya... kalau begitu kau lumpuhkan semua agen Noise disekitar sini, sementara aku akan menyusul Raya dan melindunginya. Kita kontak melalui radio. Adios!” seru John dan segera ia melompat menjatuhkan diri dari atap gedung tersebut. Codename di dahinya pun mulai muncul. Dan dengan tangannya ia membuat sebuah lubang portal di udara dan kemudian ia terjun masuk kedalam lubang tersebut dan lubang portal itu pun tertutup kembali sehingga membuat tubuhnya seolah lenyap begitu saja. Sementara Mary mulai mempersiapkan senapan Dragunov miliknya. Memasang peredam pada ujung laras, ia mulai membidik setiap agen. Begitu satu peluru keluar dari laras, selongsong terlepas, maka satu agen terjatuh. Dengan tenang Mary menarik nafas. Menahannya lalu barulah ia menembak. Beberapa agen yang menyadari bahwa mereka diserang mulai panik namun mereka tak tahu darimana tembakan itu berasal, mereka hanya bisa berlari merunduk seraya berusaha melihat ke sekeliling, namun hal itu justru menjadikan mereka sebagai sasaran empuk bagi Mary. Tak butuh waktu lama dan semua agen di seberang atap gedung pun telah Mary lumpuhkan. Setelah melaksanakan tugasnya Mary segera membereskan senapannya, membongkar setiap bagiannya dan memasukannya kedalam peti kayu yang sudah ia siapkan. Lalu ia memasuki ruangan akses kedalam gedung dan menuruni tangga.
Sementara itu Raya telah sampai di rumahnya. Namun tak ada sambutan yang diterima dari keluarganya. Ada sesuatu yang terjadi. Dan ibunya tengah menatapnya dengan tajam.
“Raya. Sekarang kamu harus jelasin ini sama ibu!” seru ibunya seraya menunjukan sebuah amplop. Raya pun mengambil amplop itu, tampak ada cap dan juga logo universitas tempat Raya belajar. Ia membukanya dan mendapati sebuah surat. Dan apa yang Raya baca didalamnya membuatnya tercengang...
“Apa ini... ini... ini tidak mungkin...”
“Tidak mungkin apa? Berkali-kali ibu bilang... jangan terlalu sibuk dengan kegiatan sosial kamu itu... bagaimana bisa kamu mengajari anak-anak jalanan itu sementara kamu sendiri gagal menjalani pendidikan kamu! Kalau sudah begini ibu bisa apa? Ibu sudah susah payah menyekolahkan kamu dan kamu seenaknya berbuat sesukamu... ibu kecewa sama kamu Raya. Ibu capek.”
“Tapi bu, ini aneh, Raya enggak mungkin drop-out. Ibu tahu sendiri, semenjak kecelakaan kemarin, perusahaan Fabian sudah mengirim beasiswa pendidikan ke kampus untuk biaya kuliahku... lagipula kuliahku baik-baik saja, tidak terganggu sama sekali... yah mungkin Raya pernah enggak masuk 2 atau 3 hari... tapi... seharusnya pihak kampus memberi surat peringatan terlebih dulu...”
“Oh ya? Peringatan? Dengar, yang ibu tahu keputusan yang kamu buat dulu membuat kamu hampir kehilangan nyawa... membuat ibu hampir kehilangan satu-satunya anak ibu. Apa menurut kamu itu bukan peringatan? Apa kamu lupa siapa yang membuat ketua kalian jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang? Sementara wajah kamu muncul di surat kabar karena selalu bangkit dari kematian. Lalu kecelakaan itu... seandainya kamu benar-benar peduli... seharusnya kamu menerima uang ganti rugi dari mereka karena setidaknya itu akan berguna saat kamu menganggur seperti sekarang! Komunitas relawanmu itu sudah bubar. Jadi berhentilah menjadi orang baik dan mulai pikirkan diri kamu sendiri.”
“Mirna! Sudah cukup!” tiba-tiba sang nenek membentak. Ibu Raya lalu pergi menjauh. Sedangkan Raya hanya terdiam merunduk. Tak tahu harus berkata apa. Neneknya yang merasa iba, menghampirinya.
“Raya... jangan sedih nak, tidak ada yang melarang kamu berbuat kebaikan. Hanya saja, selama ini, semenjak ayah kamu tiada, ibumu sudah bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga kita... jadi, kamu tolong mengerti ya? Ibu kamu tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya emosi sesaat. Dia mengatakan itu karena dia sayang kepada kamu”
“Tidak nek. Ibu benar... Raya yang salah... tidak seharusnya Raya mengorbankan apa yang kalian perjuangkan untuk keberhasilan Raya dan sekarang Raya malah mengacaukan semuanya...”
“Raya...” tiba-tiba kakeknya ikut menimpali. “Seorang laki-laki akan selalu senantiasa berada diantara pilihan, dan pada setiap pilihannya mengandung resiko. Tapi laki-laki sejati tidak akan menyesali pilihannya. Tidak pernah. Karena menyesal tidak akan mengubah apapun. Jika itu bisa diperbaiki maka ia akan memperbaikinya, namun jika tidak, maka dia akan menghadapi masalahnya secara jantan... ayahmu tidak pernah mundur sedikitpun saat ia harus melakukan pertunjukan meski tubuhnya sedang sakit. Ayahmu adalah lelaki sejati...”
“Raya mengerti kek. Raya hanya... sedikit... tidak percaya dengan ini. Mungkin ibu benar, Raya harus mencari pekerjaan sekarang...”
Ting tong... bel berbunyi. Seseorang berada dibalik pintu. Nenek pun membuka pintu itu. Tampaklah seorang pria, berusia sekitar 30 tahunan, mengenakan setelan semi formal berwarna coklat tua. Tak ada dasi yang mengikat kemejanya, ia tampak seperti orang kaukasian. Paras Eropa. Namun rambutnya sehitam bulu gagak. Hidungnya begitu besar dengan bintik-bintik pori yang mengkilat. Perutnya yang cukup gemuk membuat jasnya tampak terlalu sempit hingga tak bisa dikancingkan. Dan ia tersenyum ramah...
“Ah... hallooo... namaku Vaust, saya wartawan dari Sound Of America... apa benar ini rumah tempat Raya Praditha tinggal?”
“Ya. Ada keperluan apa dengan cucuku...?”
“Ah. Nyonya, bisakah nyonya mengijinkan saya untuk masuk? Saya begitu antusias untuk melihat seperti apa tempat Raya tinggal... dan jika nyonya mau berbaik hati, sebenarnya saya sedikit haus... fiuw. Udara diluar sini panas sekali nyonya...”
“Jika ini tentang kejadian kecelakaan yang hampir merenggut nyawa cucuku itu, maka lupakan saja, cucuku sedang sibuk. Lain kali saja...” dan kemudian nenek mencoba menutup pintu agar wartawan itu pergi, namun wartawan tersebut malah menahan pintu itu dengan sepatunya sehingga nenek tak bisa menutupnya.
“Ah tolong nyonya... sebentar saja, atau paling tidak berikanlah saya segelas air nyonya, saya datang dari negeri yang jauh, tolonglah... kisah tentang cucu nyonya cukup populer bagi kalangan remaja di negeriku, setidaknya ada kabar yang harus kubawa pulang...” kemudian karena semua itu menimbulkan kegaduhan, Raya dan kakek pun ikut menghampiri.
“Ada apa nek...?” Kakek bertanya.
“Wartawan. Dari Amerika katanya. Nenek pikir Raya sedang tidak ingin diganggu hari ini jadi...”
“Tidak apa-apa, biar Raya bicara sebentar padanya...” jawab Raya.
“Ah! Mr. Raya! You look great! Waw, bisa bertemu langsung denganmu merupakan keberuntungan... euh maksudku kehormatan... ah, bisakah kau luangkan waktumu untuk sedikit wawancara?” ujar sang wartawan itu lagi. Raya terdiam sejenak, kemudian ia menjawab.
“Aku mengerti, hanya saja bagian dalam rumah ini masih terlihat berantakan, bagaimana jika kita bicara di tempat lain saja?”
“Ah. Baiklah... hm, sebenarnya aku sedikit haus jadi bagaimana jika aku mentraktirmu segelas kopi? Dari yang kudengar The House Of Coffee Bian adalah tempat minum kopi terbaik di kota ini, kalau begitu bagaimana jika kita pergi kesana?”
“Coffee Bian?”
“Ya. Ah, maafkan aku, aku tidak bermaksud mengungkit masalahmu dengan keluarga Fabian, maksudku yah, kebetulan saja aku ingin pergi kesana, ke tempat yang dikelola oleh orang yang juga menabrakmu waktu itu... Erik Fabian, euh itu hanya kebetulan...”
“Sejujurnya aku tidak bermasalah dengan itu... kalau begitu, mari kita kesana” jawab Raya. Dan mereka berdua pun segera bergegas melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Dan seperti biasa, John mengawasi Raya dari ketinggian, sementara Mary baru muncul di belakangnya.
“Kau terlambat...” ujar John.
“Yah, maafkan aku soal itu. Maafkan karena aku bukan seseorang yang bisa membuka portal dimensi dimana saja dan bisa muncul dimana saja meninggalkan seorang perempuan untuk pergi berjalan sendirian.”
“Fokuslah. Kau lihat? Orang bersetelan lengkap yang berada di dalam mobil itu? Tidak salah lagi mereka pastilah agen Noise...”
“Dan menurutku mereka terlalu mencolok. Maksudku turis macam apa yang mau mengenakan setelan lengkap seperti itu di siang hari yang panas di negeri ini? Dan dari apa yang kulihat, hey, bukankah bocah yang berjalan menuju mereka adalah Raya? Dan siapa pria gemuk buruk rupa yang sedang berjalan bersamanya itu?”
“Kau tidak mengenalinya?”
“Jangan bilang kalau dia adalah... oh, astaga.”
Sementara Mary dan John mengawasinya, Raya dan sang wartawan terus berjalan menapaki trotoar. “Kupikir kita bisa naik taksi dari sini...” ujar Raya. “Ah maafkan aku karena tidak membawa kendaraan, kami adalah wartawan dari surat kabar kecil dan mereka tidak memberikan akomodasi bagiku untuk...” belum selesai sang wartawan bicara, sebuah pintu mobil di dekat mereka tiba-tiba terbuka, pria-pria berparas Eropa dengan setelan lengkap keluar dari dalam mobil itu.
“Jika kau mau ikut kami, kami akan dengan senang hati memberikan tumpangan...” ujar salah satu dari mereka seraya tersenyum. “Ah Raya, tampaknya kita beruntung, ada orang-orang baik hati yang menawarkan tumpangan...” jawab wartawan itu. Namun mendengar itu pria bersetelan itu menatap tajam. “Hanya orang bernama Raya yang boleh ikut, kau tidak termasuk...” jawabnya.
“Hey, tapi aku wartawan yang lebih dulu menemuinya, aku tidak peduli kalian adalah wartawan New York Times atau CNN, tapi aku lebih dulu berada disini dan...”
“Dor!” suara letusan muncul dari dalam mobil. Sang wartawan terkapar dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya. Orang-orang di sekitarnya yang melihat itu menjadi panik dan berlari meninggalkan tempat itu, mata Raya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Para pria bersetelan keluar dari dalam mobil seraya menodongkan pistol.
“Maafkan aku, tapi kau pun tak lama lagi akan bernasib sama dengan pria itu...” ujar pria bersetelan. Raya tidak tahu harus menjawab apa. Dia terkejut dengan apa yang terjadi. Para agen melangkah maju.
“Sudah dimulai...” ujar John.
“Apa kita harus turun kesana...?” tanya Mary.
“Tidak, kita tunggu dulu. Sampai sekarang aku masih belum melihat pergerakan assassin di sekitar sini, keberadaan mereka jauh lebih berbahaya dibandingkan sekelompok agen...” jawab John, sementara dibawah sana para agen tengah menodongkan pistolnya ke arah Raya. Kesal melihat Raya yang terdiam tanpa bicara, para agen itu pun hanya tersenyum.
“Tampaknya ini percuma saja. Bagaimanapun kami tidak berniat untuk membawamu tapi untuk membunuhmu. Kami telah menyewa para pembunuh profesional karena khawatir Genesis akan melindungimu, tapi tampaknya kami bisa melakukan ini seorang diri” ujar sang agen.
“A-apa maksud kalian? Seingatku, aku tidak memiliki dendam dengan siapapun... mengapa kalian ingin membunuhku? Jika ini hanya tentang diriku, mengapa kalian juga harus membunuh orang ini? Wartawan ini tidak ada hubungannya denganku, mengapa kalian harus membunuhnya?”
“Well, Mr. Raya... bukankah seharusnya kau lebih mencemaskan tentang dirimu sendiri saat ini. Teman-teman!” sang agen berseru. Dan para pria bersetelan itu menahan tubuh Raya dan menyeretnya masuk ke dalam sebuah gang yang gelap. Para agen memegangi tubuh Raya sehingga tak bisa berkutik dan seorang agen lainnya mengacungkan pistol ke arahnya.
“Say goodbye to the world, Mr. Raya...” agen itu pun menarik pelatuk di ujung kokang dengan ibu jarinya, sementara Raya yang perasaannya masih terguncang hanya bisa menahan nafas.
“John! Bocah itu bisa terbunuh!” seru Mary.
“Tunggu dulu!” jawab John.
“John!!”
“Kita harus percaya padanya!!!”
Dan sesaat saat agen itu menaruh telunjuknya pada pelatuk di bagian bawah kokang, tiba-tiba agen itu terjatuh tak sadarkan diri. Raya dan juga para agen yang kaget segera berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan dihadapan mereka berdiri sesosok pria. Yaitu sang wartawan.
“Tidak mungkin! Bukankah kau tadi sudah...” ujar seorang agen seraya menodongkan pistolnya. Terkejut dengan kemunculan pria tersebut para agen pun mengalihkan perhatiannya dan mulai menembak, melepaskan pegangan mereka pada tubuh Raya. Tetapi tembakan-tembakan itu tak ada yang menemui sasarannya, sang wartawan tiba-tiba menghilang dari pandangan.
“Dimana dia?” seru para agen tersebut. Mereka panik dan melihat ke sekeliling, menodongkan pistolnya ke segala arah. “Disini!” tiba-tiba sang wartawan berteriak dan muncul dari atas mereka, di tangannya, ia menggenggam jarum-jarum perak kemudian menancapkannya pada leher para agen dan seketika itu juga, para agen tersungkur tak sadarkan diri.
“Kau... bukankah tadi... kau... bagaimana bisa?” Raya bertanya heran.
“Kevlar dan bantalan tinta merah, ini membuatmu tampak seperti benar-benar mati saat ditembak” ujar orang itu seraya mengeluarkan bantalan besar dari tubuhnya yang mengeluarkan cairan berwarna darah, dari sini Raya sadar bahwa pria yang mengaku wartawan tadi tidak benar-benar gemuk.
“Jadi siapa kau sebenarnya? Dan mengapa mereka ingin membunuhku?”
“Ah, ya. Aku ingat bahwa aku hanya mengenalkan namaku pada nenekmu sehingga kau tidak mengetahuinya, ah. Perkenalkan, namaku Vaust. Vaust De Kruegger. Dan aku bukan seorang wartawan... aku seorang... make-up artist, mungkin kau ingat bahwa temanku pernah menemuimu sebelumnya, John, Mary dan Jet... apa kau mengenalnya?”
“Jadi kau adalah... salah satu dari mereka? Para soulrunner, jadi itu benar-benar terjadi?”
“Begitulah, saat ini musuh kami juga sedang memburumu. Mereka adalah para pemburu soulrunner, beberapa ada yang mereka rekrut dan sisanya mereka singkirkan. Meski kemampuan soulrunnermu belum aktif tapi mereka akan mencegahmu mendapatkan kemampuan itu, so, kami disini berusaha untuk melindungimu. Aku sendiri dikenal sebagai Master Of Disguise dan kemampuanku adalah...” sebelum menyelesaikan kalimatnya Vaust mencabuti jarum-jarum yang tertanam di bagian belakang lehernya, bawah telinga dan juga wajahnya. Dan begitu jarum-jarum itu dicabut, wajah itu pun berubah, hidung besar dengan pori mengkilat itu kemudian mengempis berubah menjadi hidung yang mancung, wajahnya yang bulat berubah menjadi tirus, tak lama kemudian penampilannya berubah menjadi sesosok pria yang tampan. “Aku mampu melakukan transformasi tubuh dan wajah, aku ahli dalam bidang penyamaran dan codename-ku adalah... Face...” ujar Vaust tampak bangga, sementara Raya tak bisa berkomentar lagi dengan apa yang dia lihat.
“Kau tahu John? Aku benci saat Vaust melakukan itu...” ujar Mary dari ketinggian.
“Yah, meskipun wajahnya mirip George Clooney, aku sudah menduga bahwa dia akan kesulitan mendapatkan pacar...” jawab John. Di bawah, Raya memperhatikan mayat para agen.
“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang? Tubuh-tubuh ini...” ujar Raya.
“Ah, mereka adalah agen Noise, kita tidak punya banyak waktu untuk membereskannya, kita harus pergi dari sini. Waktu kita tidak banyak.”
“Noise? Apa maksudmu? Apa masih ada orang-orang seperti mereka yang akan berusaha membunuhku?”
“Ah, sejujurnya bukan kemunculan mereka yang aku khawatirkan”
“Lalu siapa?”
Sesaat setelah Raya menanyakan hal itu sebuah benda tiba-tiba berputar meluncur cepat ke arah mereka, benda itu berbentuk bulat pipih, terbentuk dari anyaman bambu, dengan sesuatu seperti mangkuk yang tertelungkup di bagian tengahnya. Dan di pinggiran pipih dari benda tersebut terdapat pisau yang melingkarinya, pisau yang sangat tajam. Melihat itu Vaust segera mendorong tubuh Raya untuk menghindar, sayangnya lengannya tergores benda tersebut dan membuatnya terluka.
“Apa itu?” Raya bertanya. Sementara Vaust memegangi lengannya yang berdarah. Dan seperti boomerang, benda berputar itu kembali menuju pelemparnya. Seseorang berpakaian serba hitam berdiri di ketinggian. Sebagian wajahnya tertutup kain hitam seperti cadar. Lalu ia menangkap benda berputar tadi dan menaruhnya diatas kepalanya layaknya sebuah topi caping. Tak lama sekumpulan orang berpakaian serupa muncul dibelakangnya.
“Assassin...” Vaust bergumam.
“Kau mengenal mereka?” ujar Raya.
“Mereka adalah para pembunuh bayaran. Dari topi caping yang mereka kenakan, kemungkinan mereka berasal dari Asia. Daratan Indocina. Mungkin dari Vietnam, aku tidak yakin. Tapi kita harus berhati-hati dengan topi yang mereka kenakan, itu senjata andalan mereka... akh!”
“Apa kau tidak apa-apa?”
“Raya, menyingkirlah. Jauhi lokasi pertarungan ini... sekarang!!” Vaust kemudian mengambil beberapa buah jarum perak dari saku pakaiannya. Sementara para assassin itu mengangkat topi mereka dan kemudian melemparkannya bersamaan... topi anyaman itu pun meluncur ke arah Vaust dan Raya, sementara Vaust melompat, tubuhnya bermanuver di udara, menghindari topi-topi tersebut Vaust pun melemparkan jarum peraknya... para assassin pun tidak diam, mereka menghindari serangan Vaust dan melompat menerjang ke arahnya, namun tiba-tiba John muncul dan melakukan pukulan uppercut di udara, menghempaskan tubuh salah satu assassin ke tanah. Sementara, Mary mulai menembakkan peluru dari senapan Dragunov miliknya... dua assassin lainnya ia lumpuhkan hanya dengan satu tembakan. Sementara sisa dari para assassin itu menangkap kembali topi mereka, mereka menjauh, mendarat pelan dan mulai berhati-hati.
“Soulrunner dari genesis, rupanya Noise tidak berbohong tentang kehebatan kalian...” ujar salah satu assassin.
“Well, kami tidak akan meninggalkan kawan kami sendirian, namun jika hanya untuk menghadapi kalian maka tiga orang dari kami saja sudah cukup” jawab John.
“Paman John!” seru Raya.
“Raya, kau baik-baik saja?” jawab John seraya tersenyum.
“Kau tepat waktu John...” ujar Vaust.
“Tentu. Dan kau sangat payah...” jawab John.
“Ah. Aku harus bagaimana? Aku tidak menggunakan plasma suit seperti kalian...”
“Well itu terdengar cukup kasar...” tiba-tiba suara itu muncul. Sosok baru tiba-tiba hadir diantara mereka. Seseorang berparas cantik dengan rambut panjang berwarna hitam yang lurus dan indah, ia mengenakan kacamata berwarna biru kristal dan itu tidak mengurangi kecantikannya. Ia bertubuh tinggi dan jenjang, mengenakan pakaian berwarna merah terang dengan kerah chiang-i bermotif burung phoenix. Dan dia adalah... seorang laki-laki.
“Kau jahat karena tidak mau mengenakan pakaian rancanganku...” ujar laki-laki itu.
“Ah. Edward, maafkan aku. Pertama, aku tidak bisa melakukan penyamaran dengan menggunakan pakaian plasma ciptaanmu, kedua. Aku tidak suka pakaian rancanganmu. Ayolah, lihat dirimu sendiri. Bagaimana mungkin seorang pria Inggris sepertimu harus berpenampilan cantik dengan menggunakan gaun perempuan seperti orang Cina saat merayakan imlek?” ujar Vaust.
“Apa kau baru saja menyebutku cantik?” gumam pria yang disapa Edward dengan wajah tersipu. “Ah sial, aku salah bicara!” jawab Vaust. Sementara John mengeluarkan senjata baton besi jenis tonfa dari balik jaketnya. “Kawan-kawan! Fokuslah pada musuh di hadapan kita!” seru John. Ia kemudian menghubungi Mary dari radio di telinganya. “Mary, apakah kau bisa melihat sasaranmu?” “Negative. I cant see any clear target. Tempat mereka berdiri terhalang oleh gedung-gedung. Pergilah ke celah dimana aku bisa melihat mereka dengan jelas...” jawab Mary. “Sial!”
Para assassin pun mulai bertindak, mereka memakai kembali topi caping mereka dan mengeluarkan dua bilah golok dari pakaiannya. Mereka menerjang para soulrunner. Raya melangkah mundur dan mencari tempat berlindung, John menggunakan baton tonfa besinya untuk bertarung, baton besi ini adalah pentungan dengan pegangan yang biasa digunakan polisi, namun saat itu berada di tangan John, itu bisa menjadi senjata yang mematikan. Vaust melompat ke arah musuhnya. Kedua pahanya mengapit kepala musuh lalu ia menancapkan jarum ke beberapa titik di kepala musuhnya, dan seketika assassin yang terkena jarumnya pun mengerang kesakitan, wajahnya mengalami pembengkakan lalu seluruh tubuhnya ikut membengkak dan mengejang kemudian benjolan bengkak itu meledak dan mewarnai tembok dengan darah...
“Kau benar-benar tidak tahu cara menggunakan jarum...” gumam Edward.
“Lihat siapa yang bicara...” jawab Vaust.
Edward tampaknya tidak berbohong mengenai itu. Karena dari tangannya tiba-tiba muncul sebuah jarum. Hanya saja ukurannya berbeda. Itu seperti jarum raksasa. Bagian lubang dari jarum tersebut menjadi pegangannya. Dan dengan jarum raksasa itu ia menangkis setiap golok yang berusaha menebasnya, lalu dengan ujung tajam jarum itu ia menusukan senjatanya ke arah musuh... dan dari dahi Edward muncul sebuah tulisan yang terbaca... skin.
“Kau menggunakan jarum sebagai pedang, sekarang siapa yang tidak tahu cara menggunakan jarum?” seru Vaust lagi seraya tidak berhenti bertarung.
“Sebenarnya ini semacam lance, sejenis pedang tombak yang biasa digunakan para ksatria Inggris saat duel antar ksatria berkuda. Aku menyebutnya needle lance. Lagipula kau tidak seharusnya berdebat denganku, aku orang Inggris dan aku adalah seorang desainer... aku tahu bagaimana menggunakan benda ini...” jawab Edward seraya menikam salah seorang assassin.
“Edward awas!!” seru John secara tiba-tiba. Edward menoleh ke atas dan ia berhasil menghindari sebuah serangan. Kali ini serangan berasal dari kelompok yang lain. Sebuah telapak lengan dengan cakar berukuran raksasa dan terbuat dari rangka besi tertancap di tanah. Jika Edward tidak menghindar saat itu, maka tubuhnya pastilah akan terkena hantaman cakar besi raksasa tadi. Cakar itu terhubung dengan rantai yang menjulur dari lengan seseorang bertubuh besar, mengenakan pakaian dari segala macam kulit binatang dan bersamanya kawanan orang sepertinya membawa senjata yang lebih beragam, mulai dari kapak, palu, hingga gada berduri. Jika dibandingkan dengan kawanan assassin bertopi caping, penampilan mereka terlihat jauh lebih buas...
“John... mereka...” Edward bergumam.
“Itu benar, aliansi pembunuh tidak hanya mengirimkan satu kelompok saja. Aku dan Mary melihat sendiri jumlah mereka. Dan yang satu ini adalah yang tersisa dari suku barbar... mereka yang bersembunyi dari peradaban dan memilih tinggal di pedalaman bukit di gurun pasir Guanmon Cheng di Xin Jian, Cina. Sebagai informasi tambahan, mereka adalah kanibal.”
“Kanibal? Selera makan yang buruk. Apakah mereka juga mengirimkan ninja?”
“Tidak, aku tidak melihat shinobi sebagai salah satu dari mereka, tapi serikat dagang Eung Bak dari Korea dan juga Hassass, yang dipimpin oleh Mehmet dari Turki bukanlah sesuatu yang bisa kita remehkan...”
“Sial...”
“Hahahaha... karena kau mengetahui siapa kami, maka kau akan mendapatkan kehormatan untuk kami makan terlebih dahulu...!!” seru seorang assassin seraya menerjang John dari atas dan menghujamkan kapak, beruntung John yang gesit mampu menghindar. Namun para assassin bertopi caping yang tersisa pun tidak tinggal diam, mereka membuang golok mereka dan mengeluarkan dua potongan bambu kecil dari ikat pinggang mereka. Semacam tabung. Ada potongan kayu yang menutup lubang bambu tersebut. Lalu mereka membuka tutupnya dan melemparkan isi dari bambu tersebut ke arah John dan kawan-kawan. Serbuk berwarna putih menghalangi pandangan.
“Sial!! Ini candu! Kawan-kawan berhati-hatilah! Tutup hidung dan mulut kalian! Lindungi Raya!!!” seru John. Raya yang masih syok dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya bersembunyi dibalik gerobak sampah besi. Tak ada yang bisa ia lakukan. Lalu tiba-tiba Vaust melompat dan dari ketinggian, ia menyiapkan jarum-jarum peraknya... “Aku tidak takut dengan heroin...” dan begitu ia hendak melemparkan jarumnya, kegelapan membayangi dirinya. Dari atas, seorang assassin bertubuh besar mengayunkan martil besinya, mengenai punggung kiri Vaust, tubuh Vaust terpental ke tembok sebelum akhirnya terhempas dan terguling beberapa kali di tanah.
“Vaust!!” seru John. Lalu ia menekan kembali radio di telinganya “Zhao! Zhao! Apa kau mendengarku? Vaust telah dilumpuhkan, berapa lama lagi bantuan akan datang?” ujar John. Lalu seseorang dari radio itu pun menjawab “Sergei dan Tori sedang menuju kesana! Bertahanlah...” John kemudian menengok ke arah Raya “Raya! Lari!!! Pergi dari sini!!! Now!!!” seru John. Sayang, Raya tidak terbiasa dengan keadaan seperti ini. Cipratan darah dimana-mana. Mayat berjatuhan, orang-orang ingin membunuhnya. Sebagian melindunginya, namun untuk melindunginya orang-orang itu harus membunuh. Raya ingat bahwa tawaran John untuk bergabung bersamanya adalah untuk perdamaian dunia. Jelas, pemandangan semacam ini bukanlah sesuatu yang ia inginkan. “Raya!!!” John berteriak. Raya tidak bergeming. Matanya terbelalak, mulutnya menganga begitu saja. Lalu sebuah cakar besi ditarik kembali dari tanah... “Aku tidak akan membiarkanmu lari begitu saja...” Cakar besi itu pun kembali terayun, kali ini Raya yang menjadi target dan jleb! Cakar besi itu pun menusuk bahu, pinggang dan paha kiri John yang segera muncul untuk melindunginya. “Raya... lari...” ujar John pelan menahan rasa sakit. “Paman John...” tubuh Raya semakin kaku, kedua kakinya bergetar ketakutan. Lalu John memegangi rantai yang terhubung dengan cakar besi tersebut. Ia menariknya dengan seluruh tenaga. Assassin yang bersenjatakan cakar besi itu pun tidak mau terjatuh dan bertahan diatas seraya ikut menarik rantai tersebut. Dan memanfaatkan rantai itu, John menggunakannya sebagai alat untuk mendaki tembok dimana assassin itu berdiri. Dan begitu John sampai di puncaknya, ia memukul wajah assassin itu sekuat tenaga. Lalu assassin itu menggigit lengan John dan mengoyak sebagian kulit lengannya. John tak kuasa menahan sakit dan kemarahannya, hingga akhirnya ia mencabut cakar besi yang menancap di sebagian tubuhnya, dan menghantamkannya ke tubuh assassin itu. John menghela nafas... menatap tubuh assassin yang sudah tak bernyawa. “Tidak bisakah kau sedikit manusiawi dihadapan anggota baru kita?” tiba-tiba sebuah suara muncul menyapa mereka. Suara wanita. “Hai. Aku tak tahu kalau kau seimut ini ” ujar wanita itu pada Raya. Raya mungkin memiliki jiwa sosial tinggi, namun wanita cantik berambut hitam, bertubuh tinggi mengenakan gaun tanpa lengan dan punggung terbuka dengan belahan paha yang tinggi ditambah dua buah dada yang besar. Wanita cantik dan seksi. Adalah kelemahan Raya. Dengan cepat Raya berubah menjadi salah tingkah. Tubuhnya yang kaku perlahan segar kembali. Disamping wanita itu berdiri seorang pria, mengenakan sunglasses coklat, kurus, memiliki kumis dan jenggot yang dipenuhi uban. Uban itu juga terlihat di bagian kiri dan kanan rambutnya. Ia Mengenakan kemeja berwana merah tua dan setelan jas serba putih tanpa dasi. Elegan.
“What took you so long?” ujar John.
“Maafkan aku. Vaust menyarankan kami berdua untuk menunggu di sebuah kedai kopi, seharusnya aku sadar bahwa dia tidak akan sampai disana. Lalu Brain menghubungi kami dan menyuruhku kesini...” ujar pria itu.
“Kawan-kawan... apa kalian sedang sibuk?” tiba-tiba Edward yang selama ini sedang repot melawan dua kelompok assassin sendirian, memanggil mereka. Kembali sadar dengan kondisi yang genting, John memberikan intruksi pada kedua kawannya yang baru datang.
“Tori, kau disini membantuku dan juga Edward melawan mereka... Sergei, kau bawa Raya ke tempat yang aman...” seru John. “Kau yakin? Bagaimana dengan lukamu?” jawab pria yang disapa Sergei. “Jangan khawatirkan aku. Cepatlah...” jawab John. “Baiklah... hei kau yang bernama Raya ikut aku!” Sergei dan Raya pun segera bergegas dari tempat itu namun seolah tak yakin dengan keputusannya, Raya menoleh ke belakang...
“Jangan khawatir. John adalah pria yang tangguh... dia pasti bisa melawan mereka semua...” ujar Sergei.
“Tidak... aku tidak mengkhawatirkannya...”
“Lalu apa?”
“Sebenarnya aku berharap wanita cantik itu yang membawaku pergi...”
“Dasar bocah mesum! Jadi kau tidak suka jika aku yang menjagamu?”
“Tidak. Bukan begitu, niat kakek sudah baik untuk menjagaku, aku tidak keberatan...”
“Kakek? Kau panggil aku kakek?! Keterlaluan! Biar kuperlihatkan padamu apa yang kakek ini bisa lakukan!”
Tiba-tiba dari tubuh Sergei muncul aura berwarna keunguan dan dengan aura itu dia mengacungkan lengannya, dan lengan itu menghisap segala jenis partikel debu, bahkan bebatuan kecil. Dan semua itu berputar seperti topan, saling menempel, bersatu, hingga membentuk sesuatu. Dan... “Zap!” sebuah tangga dinding berukuran setinggi dua meter muncul dalam genggamannya... Raya tercengang melihat kejadian itu. Bukan hanya karena Sergei mampu memunculkan benda itu namun juga karena detail dari tangga yang ia ciptakan sangat rapi, warna yang mengkilat, tekstur dan presisi yang tepat, bahkan bautnya pun terlihat nyata. Itu menyerupai tangga besi yang sudah disiapkan dan bisa dibeli di toko. Kemampuan ini lebih menyerupai... pengendalian mimpi yang biasa dilakukan Raya. Hanya saja ini terjadi di dunia nyata. Lalu Sergei menaruh tangga tersebut pada tembok gedung apartemen.
“Not bad, huh?” ujar Sergei tersenyum. Di dahinya tertera sebuah tulisan yang terbaca... ambition...
“Ba-bagaimana kau bisa melakukannya? Dan untuk apa sebenarnya kau mengeluarkan tangga itu?” ujar Raya. “Naiklah dan berpegangan yang kuat...” jawab Sergei.
Sergei dan Raya lalu mendaki tangga yang hanya setinggi dua meter tersebut “Sebenarnya untuk apa kita menaiki tangga ini?” ujar Raya “Pegangan yang kuat!” lalu secara tiba-tiba tangga tersebut memanjang dengan sendirinya, tingginya yang semula hanya dua meter saja, kini bisa mencapai puncak gedung apartemen. Raya hanya bisa membuka mulutnya tak bersuara. Dan begitu sampai di puncak, Sergei dan Raya pun melompat dan berlari hingga ke ujung tepian gedung tersebut.
“Kenapa kita harus pergi ke atas sini kakek, eh maksudku paman... Sergei?”
“Itu karena dari atas sini kita bisa melihat semuanya... assassin memiliki kebiasaan untuk bergerak diantara atap-atap gedung” Sergei lalu mengaktifkan radio di telinganya... “Jet, kau mendengarku? Dimana posisimu? Becak? Baiklah aku melihatnya...”
“Hei, Raya, kau tahu benda apa lagi yang bisa kuciptakan dengan tanganku ini?” Raya tidak menjawab, menunggu apa yang ingin ditunjukan Sergei. Lalu Sergei merentangkan lengannya ke arah kanan dan kirinya, dan dari lengan itu berterbangan uang kertas yang berhamburan tertiup angin.
“Waw. Aku kagum pada kemampuanmu paman, maksudku menciptakan tangga adalah hal yang aneh, tapi menciptakan uang kertas begitu saja... itu keren...”
“Jika kau melihat codename yang tertera di dahiku kau pasti menyadarinya...”
“Apa?” Raya lalu memperhatikan tulisan pada dahi Sergei... tulisan itu terbaca... ambition... sekilas tidak ada yang aneh, namun akhirnya Raya menyadari sesuatu.
“Codename milikmu... berbeda...”
“Itu benar, tidak seperti John, dengan codename Hand, atau Vaust dengan codename Face... codename-ku tidak berkaitan dengan organ tubuh atau fisik. Ambition adalah kata sifat... karena itu codename dibagi menjadi dua kategori, codename fisik dan codename psikis, orang-orang dengan codename fisik memiliki kelebihan dalam menguasai kekuatan tubuh mereka dan orang-orang dengan codename psikis sepertiku ahli dalam kekuatan psikis, kekuatanku adalah mewujudkan keinginanku menjadi kenyataan... dengan menggabungkan imajinasi dan kemampuan menyatukan partikel dan atom hingga menjadi wujud utuh yang sempurna dan autentik lebih hebat lagi karena semua uang yang tadi kukeluarkan akan menjadi uang asli... dan kau lihat dibawah sana orang-orang berhamburan memperebutkan uang itu...”
“Untuk apa kau melakukan itu?”
“Itu jalur pelarianmu. Dengan berkumpulnya orang-orang dibawah, para assassin akan kerepotan untuk mengejarmu sementara aku akan menghadapi mereka disini...”
“Dibawah? Maksudmu aku harus melompat ke bawah begitu?” baru saja Raya menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sekelompok orang berpakaian serba hitam, menutupi wajahnya dengan topeng berwajah tersenyum yang menyeramkan muncul di antara mereka...
“Assassin lagi...?” ujar Raya.
“Akhirnya mereka datang juga... hahaha... topeng itu... topeng byeolsin hahoe... tidak salah lagi mereka adalah assassin dari Korea, serikat dagang Eung Bak. Pada awalnya organisasi ini muncul dari kalangan kasim istana, yang secara diam-diam membelot dan memonopoli harga pasar untuk menimbulkan pemberontakan diantara masyarakat. Namun dalam perkembangannya, mereka berubah menjadi pembunuh demi kepentingan politik...”
Mendengar itu, para assassin tidak mengucapkan sepatah kata apapun, mereka menjawab pernyataan Sergei dengan pedang... mereka menerjang dan fwooosh!!! Secara tiba-tiba tubuh para assassin terbakar saat hendak mendekati Sergei, tubuh itu terbakar begitu cepat hingga menjadi abu. Menyisakan aroma daging panggang. Sergei tersenyum seraya menunjukan benda kecil berbentuk bulat tipis di tangannya.
“Ini adalah... phosporous chip... mudah terbakar... sedikit mengandung sulfur. Dengan ini, kau tidak perlu khawatir bagaimana membereskan mayatnya...” ujar sergei. Kemudian... Duuaakk!! Raya memukul wajah Sergei sekuatnya hingga kacamata sunglassnya terlempar.
“Kenapa kau melakukan itu! Kenapa kau harus membunuh mereka! Sudah cukup!” seru Raya. Sergei mengambil kembali sunglass cokelatnya dan menyapukan sedikit darah dari bibirnya.
“Bocah tengik, jika aku tidak membunuh mereka maka mereka akan membunuhmu! Jika kau tidak suka dengan caraku, baiklah...” Sergei lalu memegang dan mengangkat tubuh Raya ke atas...
“Hei... turunkan aku... apa yang ingin kau lakukan! Hei!”
“Tangkap bocah ini... Jet!”
“Apa... wha... waaa....” Raya yang panik karena tubuhnya diangkat, semakin putus asa saat tubuhnya dilemparkan begitu saja dari atas gedung apartemen. Di bawah, seorang penarik becak berambut perak, mengenakan kaos tanpa lengan segera mengayuh becaknya. Dia tidak lain adalah... Jet.
“Dasar orang tua gila....” gumam Jet. Tubuh Raya terjun bebas dari ketinggian dan disaat yang sama para assassin kembali bermunculan dari berbagai arah. Jet mengayuh becaknya dengan kecepatan tinggi, lalu mengangkat bagian depan becak sehingga ia hanya bertumpu pada satu roda saja, sekilas tampak seperti melakukan atraksi wheelie.
Akurasi Jet tepat. Raya terjatuh tepat di tempat penumpang becak, dan karena becak itu berputar, itu mengurangi dampak guncangan sehingga Raya tidak mengalami luka serius... orang-orang yang menyaksikan itu segera mengambil ponsel mereka berusaha mengabadikan kejadian tersebut. Jet kemudian menekan radio di telinganya.
“Brain, i need privacy here...” seru Jet, dan orang dari radio itu pun menjawab.
“Roger that. Aku akan mengaktifkan jamming device yang kutanam di becakmu, semua kamera, CCTV, ponsel, gadget apapun tidak akan berfungsi dalam radius 700 meter dari tempat becak itu berada...”
Dan segera saja setelah pembicaraan itu diakhiri, orang-orang yang berusaha merekam kejadian terkena sengatan listrik dari ponsel mereka. Kemudian Jet kembali mengayuh becaknya. Diatas mereka para assassin tengah melompat seraya terus mengikuti.
“Jet... hah... aku senang bisa melihatmu...” ujar Raya seraya berpegangan erat pada setiap pinggiran becak.
“Pegangan...!” seru Jet. Becak itu kemudian memasuki gang kecil dan menuruni tangga batu yang membuat Raya merasa mual karena terguncang. Dari gang tersebut becak itu memasuki sebuah jalan besar. Di tempat itulah para assassin berbagai macam bentuk dan senjata turun dan mengepung mereka. Jet mengambil dua pucuk pistol Beretta yang dia selipkan didalam celananya. Lalu dalam kecepatan tinggi itu Jet menginjak rem becaknya...
“Here we go...”
Dan layaknya adegan pada film action, becak itu melakukan drift putaran 360 derajat sebanyak empat putaran, dan seraya berputar, Jet membidik para assassin dan mengacungkan pistolnya...
Dor! Dor! Dor!
Dan tidak ada satupun tembakan Jet yang mengenai sasaran. “Sial!” seru Jet seraya mengayuh kembali becaknya. Orang-orang berlarian panik. Lalu seseorang di radionya menghubunginya... “Honey, tembakanmu meleset...” ujar seorang perempuan dari radionya yang tidak lain adalah Mary. “Aku tahu itu... aku lebih suka menggunakan tinju daripada peluru, tapi si gendut John memberiku benda ini” jawab Jet. “Hei, aku dengar itu!” tiba-tiba suara John ikut menimpali. “Hey John, apa yang kau lakukan disana? Aku melihat para assassin yang seharusnya kau hadapi juga mengejarku dan bocah ini!” seru Jet lagi. “Jumlah mereka terlalu banyak! Sekarang mereka semua mengejar Raya, kami disini juga berusaha mengejarnya...” Jet menghela nafasnya. Salah satu assassin melompat berusaha menebas kepala Jet dengan golok... lalu tiba-tiba assassin itu terjatuh. Mary menembaknya lebih dulu. Dari kejauhan, Mary mengarahkan bidikannya pada semua assassin yang mengejar Jet dan Raya. Lalu tiba-tiba kelompok assassin berpakaian kulit binatang, bertubuh besar dengan senjata tajam berukuran raksasa muncul dihadapan Jet dan Raya.
“Cukup sudah...” ujar Jet. Jet turun dari becaknya. Lengan kirinya memegang erat kepalan lengan kanannya. “Raya... larilah. Jangan khawatir, tidak akan ada yang bisa lolos dari tinjuku...”
“A-apa? Lari? Apa kau yakin...? ah, baiklah...” Raya lalu turun dari becaknya. Ia berlari menuju gang di seberang jalan... lalu seorang assassin berusaha mengejarnya. Tapi Jet lebih dulu melompat, assassin itu terjerembab ke tanah terkena pukulan Jet. Raya terus berlari, sejenak ia menoleh ke belakang. Tampak tubuh para assassin terlempar kesana kemari oleh serangan Jet. Tanpa ragu lagi Raya kembali berlari, menyusuri gang sempit yang becek, menabrak orang-orang... Raya tidak peduli. Baru kali ini dalam hidupnya ia merasakan takut. Ia berlari sejauh mungkin hingga akhirnya ia berhenti pada ujung jalan yang ia telusuri. Sebuah lapangan... tempat anak-anak biasa bermain bola. Kali ini lapangan itu tampak kosong dan sepi. Raya berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal... ia bersandar pada sebuah tiang listrik.
“Apa itu melelahkan?”
“Ya, benar-benar melelahkan... eeeehhh??” Raya terkejut pada suara yang tiba-tiba menyapanya. Ia menengok ke atas. Dan di ujung paling atas tiang listrik itu berdiri seorang pria berpakaian hitam. Mengenakan cadar, memakai semacam tudung hitam di kepalanya, pada tubuhnya terdapat hiasan berbentuk dua bulan sabit emas...
Sekumpulan orang berpakaian serupa juga muncul secara tiba-tiba di hadapan Raya, salah satu diantara mereka yang tampak sebagai pemimpin turun dari tiang listrik dan melangkah mendekati Raya. Ia menunjukan semacam gulungan kertas.
“Ah. Raya Praditha Kusuma... saat ini kau berada dalam kontrak kami. Menyerahlah dan kami akan berusaha agar ini tidak terasa sakit...”
Pasrah dengan apa yang terjadi, Raya menelan ludahnya. “Baiklah... jika membunuhku akan mengakhiri pembunuhan yang lain... aku... ah, berjanjilah utuk mengakhiri semua ini setelah kalian mengambil nyawaku!”
“Hoo... aku tidak menyangka akan jadi semudah ini, terima kasih untuk kerjasamanya... sekarang kami akan...”
Para assassin segera menghunuskan pedangnya. Ada yang berbeda dengan pedang mereka, pedang assassin kali ini berbentuk sedikit melengkung seperti pedang damaskus. Dan dengan pedang itu mereka menyerang. Salah satu diantara mereka mengayunkan pedangnya ke arah leher Raya. Raya hanya menutup mata, namun belum sempat pedang itu menyentuhnya, assassin itu sudah terpental lebih dulu. Raya membuka mata. Seseorang, seorang wanita bersenjatakan sebuah payung hitam muncul menyelamatkannya. Tatapan wanita itu tampak tidak asing. Ia mengenakan topi dan mengikat rambutnya. Ia mengenakan kaos yang cukup ketat dan celana jeans. Sekilas ia tampak tomboy.
“Laki-laki ini adalah laki-laki milikku! Siapapun yang berani menyentuhnya, akan aku bunuh!”
“Eh?!” Raya terkejut dengan apa yang dikatakan wanita itu. Lalu wanita itu menoleh pada Raya.
“Kisamaa... bakayaro...” ujar wanita itu pelan. Para assassin kembali menyerang wanita tersebut namun wanita itu begitu ahli menggunakan payungnya sebagai senjata.
“Wanita penyihir! Akan kubunuh kau karena menghalangi kami!” ujar salah satu assassin.
“Urusai!! Temeeee...!!!” wanita itu kembali menghajar para assassin, topinya terlepas karena tertiup angin dan ikatan rambutnya pun ia lepaskan, dan saat rambut panjang itu tersibak, barulah Raya sadar bahwa ia merasa pernah melihat wanita ini sebelumnya...
“Kuntilanak Jepang... ngapain kamu disini?”

Mahasystem Chapter Nine
“In The Hunt”
End